' Kasturi 81 Wadya Bolo Mengenang Guru-guru kita di SMP (2)

Mengenang Guru-guru kita di SMP (2)

Menyambung tulisan sahabat saya Beno …
Kita menjadi seperti sekarang, apapun profesi kita … pasti karena ada sesuatu yang ditorehkan oleh guru2 SMP kita dulu pada kita, sedikit banyak ada jejak-jejak yang ditinggalkan oleh beliau2 dibawah alam sadar kita sehingga terbawa sampai saat ini. Nasih menggeluti pertanian, mungkin karena ada kekaguman pada cara bu Haryati dulu mengajar biologi. Kenang menjadi ahli fisika mungkin karena terinspirasi oleh pak Pandoyo, demikian juga Beno yang pandai menulis karena kekagumannya pada bu Gunarti. Yang mungkin agak mengherankan bagi saya apakah Bambang menggeluti dunia tarik suara karena pak Diarko …

Bukan maksudku mengungkit masa lalu, seperti kata Beno ….
Namun yang hendak kukenang adalah hal-hal yang baik. Di luar itu, biarlah menjadi catatan yang tersimpan rapi di dalam hati

Pengaruh didikan kita di waktu kecil akan terbawa hingga dewasa. Kita beruntung sekali bahwa kita telah bertemu dengan guru-guru yang istimewa pada saat itu, tetapi kalau boleh membalik arah jarum jam dan berandai-andai, ingin sekali rasanya saya diajar pelajaran kesenian kembali oleh pak Diarko dengan lebih manusiawi dan menempatkan kita sebagai muridnya, bukan sebagai dirinya. Seperti kata Beno …
Pak Diarko, guru kesenian, yang kadang-kadang membuat jengkel karena gaya mengajarnya yang kurang komunikatif, seenak sendiri, dan agak egois. Nyuwun sewu atas keterusterangan saya ini. Apapun, semua itu tak mengurangi rasa hormat dan penghargaan saya kepada beliau.

Sayapun merasakan hal yang sama. Dahulu rasanya semua pelajaran bisa kutaklukkan kecuali pelajaran yang satu ini. Melihat not balok rasanya seperti melihat cebong menari-nari di got dengan seenaknya tanpa aturan. Saya iri pada Bambang Supriyadi yang bisa membaca partitur dengan cara belajar yang seadanya karena memang bakat seninya yang luar biasa. Ataukah memang dasar saya yang sangat oon untuk menerima pelajaran kesenian. Tetapi saya kadang juga berpikir positif, mungkin pak Diarko adalah maestro seni sekelas Einstein sehingga kita sebagai orang awam kurang bisa mengejar cara berpikirnya, seperti teman2nya melihat Mahar dalam Laskar Pelangi. Padahal seperti bahasa yang akan menimbulkan orgasme sastra yang tidak terbayang kenikmatannya, rasa seni juga akan menimbulkan kenikmatan tiada banding. Sayang sekali kenikmatan itu baru bisa saya rasakan akhir-akhir ini akibat salah didik di waktu kecil. Dengan usaha keras akhirnya bisalah menikmati musik klasik, orkestra, main gitar dan sebagainya. Andai saja rasa seni itu sudah bisa dipelajari sejak kecil, barangkali ada di antara kita yang sudah bisa tampil seperti Addie MS, Erwin Gutawa, Purwacaraka atau bahkan Zubin Mehta. Atau barangkali Bambang Supriyadi sudah menelma menjadi Placido Domingo, Jose Carera atau bahkan Luciano Pavaroti
Tetapi waktu memang tidak bisa kembali, dan apapun yang terjadi hormatku yang tak terhingga untuk Pak Diarko dengan cara berpikir dan cara mengajarnya yang tidak bisa saya ikuti. Kangenku untuk putranya, Siswadi (1c)

4 komentar :

  1. kakek ku seorang petani, bapak ku petani yang juga guru, kakak ku guru bukan petani ... aku guru pertanian
    duni ku ndak pergi jauh-jauh dari leluhur ...

    BalasHapus
  2. Betul, Mas Tahid. Baru sekarang terasa benar andil para guru itu dalam membentuk kita menjadi seperti sekarang. Lepas dari segala kenyentrikan masing-masing.
    Ya Allah, berikanlah rahmat dan hidayah bagi yang masih sugeng dan berikanlah tempat yang layak di sisi-Mu bagi yang telah tilar donya. Amiiinnnn .... !!

    BalasHapus
  3. Pak Diarko, aku inget banget sama belaiu karena selalu jadi asistennya kalau pelajaran nari mesti saya yang jadi asisten. saya nyanyi bakat alam saja karena waktu kecil suka nangis kenceng, sekalian latihan vokal. Dari pak Diarko saya belajar nyanyi yang bener. Sayang ya hid dulu belum ada idol-idolan... Tpi lumayan kok, sekarang kadang-kadang masih laku suaranya he...he...

    BalasHapus
  4. Ucapan guru atau orang tua itu secepat cahaya ke telinga kita. Tetapi makna ucapan itu berjalan lebih lambat, secepat suara. Tetapi makna itu akan sampai, mungkin saat kita diujung panggilan Yang Maha Esa.

    Artikel menarik ini juga lama bergema di hati saya. Baru-baru saja ini saya dapat info mengenai wafatnya salah seorang pengajar saya. Langsung saja, dibuatkan cerita. Bila ada waktu silakan cek di :
    http://beha.blogspot.com/2010_10_01_archive.html#8255435979054072309

    Mari kita menulis tentang guru dan dosen kita. Selagi masih sugeng, selagi masih bisa membaca rasa apresiasi kita untuk jasa mereka.

    BalasHapus