Rabu sore saya kebingungan. Merasa ada something yang hilang. Tak pikar-pikir, apa yang kurang dan yang hilang. Olala, ternyata hp jadul itu tidak ada dalam saku celana. Dicari-cari sampai ke mana-mana, tak ketemu juga. Biasanya ada di laci meja, tetapi kali ini tidak ada.
Ya sudah. Kalau pun jadi benar-benar hilang, mesti direlakan. Putus asa dan pasrah. Tapi agak senewen juga. Soalnya, di hp itu tersimpan nomor-nomor kontak teman-teman alumni SMP 1 Wonogiri yang susah payah dikumpulkan oleh sobat terbaik saya, Mas Nasih. Ya cuma disimpan dulu, belum ada yang saya hubungi.
Bukan sekali ini saya ''kehilangan'' perkakas yang ketergantungan padanya begitu tinggi. Biasanya juga ketemu tak lama kemudian. Bisa dua jam, bisa pula berhari-hari. Bisa tertinggal di laci, bisa pula terkunci di lemari.
Nah, Rabu malam hp itu akhirnya ketemu di jok gerobak tumpangan saya. Rupanya, lolos dari saku celana tanpa tersadari. Ketika dicek, sudah ada nomor-nomor miscall. Ada yang dari adik saya di Wonogiri, ada dari rekan-rekan kerja, ada pula rekanan penting dari Jakarta, dan tak lupa sobat terbaik saya, Mas Nasih.
Khusus Mas Nasih, entah sudah berapa kali ia gagal menghubungi saya secara langsung. Mungkin agak jengkel dia: ngapain sih anak ini susah amat ditelepon -- begitu kira-kira beliau ngedumel di sanggarnya, di Jogja sana.
Dari kasus hp ilang itu, paling tidak saya bisa menarik dua hikmah. Pertama, sebenarnya tidak ingin bergantung pada perkakas, tetapi kenyataan berbicara lain. Hp seolah-olah jadi napas sehari-hari, dan kalau perlu digandhulno onok gulu ben ora gampang ilang.
Kedua, betapa berdosa saya ketika banyak orang yang ingin menghubungi -- mungkin karena sesuatu yang amat penting -- gagal. Saya telah membuat jengkel, keki, atau bahkan marah orang yang mencoba menelepon saya.
Hikmah tambahannya adalah: ternyata saya selama ini kurang menyadari bahwa saya telah menjadi ''orang penting'' bagi beberapa orang. Kasihan mereka, sudah susah-susah mencoba menghubungi tetapi tak memperoleh tanggapan yang semestinya.
Untuk itulah, saya harus mohon maaf kepada orang-orang yang telah gagal menelepon saya. Terutama kepada Mas Nasih -- maap, bukan maksud saya mengabaiken .... maap, sungguh saya seringkali kehilangan alat bernama hp itu ... maap, maap ....... (huahahahahaha .....).
Ruginya adalah kalau ternyata yang gagal menelepon itu sebenarnya hendak mengantar rezeki -- minimal memberi order apalah -- kepada saya. Yaaaa, memang belum rezeki namanya (iki apologi khas wong salah hehehehe ....).
Cuma jadi kepikiran juga. Apakah itu tanda-tanda kepikunan telah mendekat ? Apakah saya benar-benar telah begitu tua ? Padahal hingga kini saya selalu merasa masih 27 terus ! Mas Anto, tolong apa resep atau makanan yang tepat untuk menanggulangi kelinglungan itu !
Ya sudah. Kalau pun jadi benar-benar hilang, mesti direlakan. Putus asa dan pasrah. Tapi agak senewen juga. Soalnya, di hp itu tersimpan nomor-nomor kontak teman-teman alumni SMP 1 Wonogiri yang susah payah dikumpulkan oleh sobat terbaik saya, Mas Nasih. Ya cuma disimpan dulu, belum ada yang saya hubungi.
Bukan sekali ini saya ''kehilangan'' perkakas yang ketergantungan padanya begitu tinggi. Biasanya juga ketemu tak lama kemudian. Bisa dua jam, bisa pula berhari-hari. Bisa tertinggal di laci, bisa pula terkunci di lemari.
Nah, Rabu malam hp itu akhirnya ketemu di jok gerobak tumpangan saya. Rupanya, lolos dari saku celana tanpa tersadari. Ketika dicek, sudah ada nomor-nomor miscall. Ada yang dari adik saya di Wonogiri, ada dari rekan-rekan kerja, ada pula rekanan penting dari Jakarta, dan tak lupa sobat terbaik saya, Mas Nasih.
Khusus Mas Nasih, entah sudah berapa kali ia gagal menghubungi saya secara langsung. Mungkin agak jengkel dia: ngapain sih anak ini susah amat ditelepon -- begitu kira-kira beliau ngedumel di sanggarnya, di Jogja sana.
Dari kasus hp ilang itu, paling tidak saya bisa menarik dua hikmah. Pertama, sebenarnya tidak ingin bergantung pada perkakas, tetapi kenyataan berbicara lain. Hp seolah-olah jadi napas sehari-hari, dan kalau perlu digandhulno onok gulu ben ora gampang ilang.
Kedua, betapa berdosa saya ketika banyak orang yang ingin menghubungi -- mungkin karena sesuatu yang amat penting -- gagal. Saya telah membuat jengkel, keki, atau bahkan marah orang yang mencoba menelepon saya.
Hikmah tambahannya adalah: ternyata saya selama ini kurang menyadari bahwa saya telah menjadi ''orang penting'' bagi beberapa orang. Kasihan mereka, sudah susah-susah mencoba menghubungi tetapi tak memperoleh tanggapan yang semestinya.
Untuk itulah, saya harus mohon maaf kepada orang-orang yang telah gagal menelepon saya. Terutama kepada Mas Nasih -- maap, bukan maksud saya mengabaiken .... maap, sungguh saya seringkali kehilangan alat bernama hp itu ... maap, maap ....... (huahahahahaha .....).
Ruginya adalah kalau ternyata yang gagal menelepon itu sebenarnya hendak mengantar rezeki -- minimal memberi order apalah -- kepada saya. Yaaaa, memang belum rezeki namanya (iki apologi khas wong salah hehehehe ....).
Cuma jadi kepikiran juga. Apakah itu tanda-tanda kepikunan telah mendekat ? Apakah saya benar-benar telah begitu tua ? Padahal hingga kini saya selalu merasa masih 27 terus ! Mas Anto, tolong apa resep atau makanan yang tepat untuk menanggulangi kelinglungan itu !
ya begitulah Beno kalau lagi kumkum, tidak ada satupun yang boleh dan dapat mengganggu ...
BalasHapuspadahal kalau saya call ya paling-paling untuk dijadikan bamper (buffer)
memang kalau kita lagi suntuk khusuk dengan sesuatu, maka apappun yang lain tinggalkan ...
Tadi malam aku dapat kejutan ditelp mas joni nur ashari ... bener2 ketemu sedulur sing glidig nyok jakarte dan sekitarnye ... ada lagi Sih selain joni? Beliau cerita nelpon mas beno tapi ga diangkat ... aku hibur dia mungkin lagi dikejar deadline. Oh ternyata masalah pikun, to? Oh ya Sih mas Joni dah siap ikut meramaikan blog ini katanya sory kemarin terserang typus ... penyakit khas jakarte : tiwas ngoyo ra entuk upo ... he he
BalasHapus