UNTUK keperluan penulisan skripsi sarjana S-1, sekitar tiga bulan pada pengujung tahun 1989 saya meneliti usaha tani dan ternak kambing di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo, Wonogiri. Judulnya Perbandingan Tingkat Kesejahteraan Petani Peternak Kambing, Petani Penggaduh Kambing, dan Petani Tanpa Ternak di DAS Solo Kabupaten Wonogiri.
Objek penelitian saya adalah petani di sepanjang DAS Solo, antara lain di Sub-DAS Wiroko (Tirtomoyo) dan Sub-DAS Alang Ngunggahan (Wuryantoro), serta Giriwoyo, Giritontro, dan Pracimantoro.
Dari data dasar yang saya peroleh di Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNS serta Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wonogiri, waktu itu tingkat sedimentasi yang berdampak pada pendangkalan Waduk Gajahmungkur sudah sedemikian mengkhawatirkan.
Sedimentasi tersebut disumbang terutama oleh pola budi daya pertanian yang ''kurang ramah lingkungan'' serta ''keserakahan'' berupa konversi hutan dan kawasan hijau untuk berbagai kepentingan.
Dari disiplin ilmu saya (Jurusan Produksi Ternak dengan minat khusus pada Sosial Ekonomi Peternakan) saya menyarankan budi daya tanaman pangan yang dipadukan dengan ternak kambing disertai pengembangan kawasan hijau untuk penyediaan pakan ternak.
Penelitian saya yang sederhana itu sebenarnya bisa dikembangkan ke tema-tema lain yang lebih menukik. Misalnya dampak budi daya tani ternak dan hijauan pakan terhadap sedimentasi di sepanjang DAS Solo.
Sayang, hingga kini tampaknya belum ada yang melanjutkan. Mungkin dianggap kurang seksi ya, karena dulu juga sudah saya tawarkan kepada beberapa teman dan adik angkatan tapi tak ada yang merespons.
Kekeringan waduk ''kebanggaan'' warga Wonogiri itu kembali mengingatkan saya pada penelitian sekian tahun lalu yang saya lakukan sendirian secara sungguh-sungguh. Kesungguhan itu ''ditertawakan'' oleh pembimbing utama saya.
Katanya: sebenarnya tak perlu terlalu serius, penelitian S-1 kan untuk belajar meneliti saja. Wah, kurang ajar bener. Tapi saya tidak merasa rugi atas ''kesungguhan'' dalam menjalankan penelitian tersebut.
Banyak yang saya tahu, banyak yang saya rekomendasikan. Namun, copy skripsi yang dulu saya sampaikan ke Bappeda Wonogiri mungkin hanya jadi ganjal meja, dimakan ngengat, atau bahkan dijual kiloan ........
Objek penelitian saya adalah petani di sepanjang DAS Solo, antara lain di Sub-DAS Wiroko (Tirtomoyo) dan Sub-DAS Alang Ngunggahan (Wuryantoro), serta Giriwoyo, Giritontro, dan Pracimantoro.
Dari data dasar yang saya peroleh di Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UNS serta Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wonogiri, waktu itu tingkat sedimentasi yang berdampak pada pendangkalan Waduk Gajahmungkur sudah sedemikian mengkhawatirkan.
Sedimentasi tersebut disumbang terutama oleh pola budi daya pertanian yang ''kurang ramah lingkungan'' serta ''keserakahan'' berupa konversi hutan dan kawasan hijau untuk berbagai kepentingan.
Dari disiplin ilmu saya (Jurusan Produksi Ternak dengan minat khusus pada Sosial Ekonomi Peternakan) saya menyarankan budi daya tanaman pangan yang dipadukan dengan ternak kambing disertai pengembangan kawasan hijau untuk penyediaan pakan ternak.
Penelitian saya yang sederhana itu sebenarnya bisa dikembangkan ke tema-tema lain yang lebih menukik. Misalnya dampak budi daya tani ternak dan hijauan pakan terhadap sedimentasi di sepanjang DAS Solo.
Sayang, hingga kini tampaknya belum ada yang melanjutkan. Mungkin dianggap kurang seksi ya, karena dulu juga sudah saya tawarkan kepada beberapa teman dan adik angkatan tapi tak ada yang merespons.
Kekeringan waduk ''kebanggaan'' warga Wonogiri itu kembali mengingatkan saya pada penelitian sekian tahun lalu yang saya lakukan sendirian secara sungguh-sungguh. Kesungguhan itu ''ditertawakan'' oleh pembimbing utama saya.
Katanya: sebenarnya tak perlu terlalu serius, penelitian S-1 kan untuk belajar meneliti saja. Wah, kurang ajar bener. Tapi saya tidak merasa rugi atas ''kesungguhan'' dalam menjalankan penelitian tersebut.
Banyak yang saya tahu, banyak yang saya rekomendasikan. Namun, copy skripsi yang dulu saya sampaikan ke Bappeda Wonogiri mungkin hanya jadi ganjal meja, dimakan ngengat, atau bahkan dijual kiloan ........
Tugas teman yang di pemda Wonogiri untuk mencar rekomedasi mas Beno untuk meenyeloamatkan Wadduk gajah mungkur.
BalasHapusmas beno mungkin masih punya copynya ??????
salam
itu ok banget mas beno, kemarin siang aku lagi ngubek2 gramedia itu lho nyari buku ekspedisi bengawan solo oleh kompas, ternyata stoknya habis dan baru minggu depan ada stok baru. buku itu relevan banget dengan kekeringan gajah mungkur dan mungkin sangat relevan dengan skripsi sampean. Aku pengin nulis "wonogiri ilang kethune", itu lho rencana konversi hutan kethu menjadi kebun singkong untuk industri tepung yang pernah sampean tulis. Rasane miris waktu beberapa bulan lalu melihat hutan kethu ternyata sudah digunduli (meskipun sudah ada penanaman baru). Aku merasa kehilangan cerita tentang alas dampit yang ada ditengah hutan kethu yang dulu vegetasinya sangat rapat dan beberapa spesies burung seperti tekukur,kucing hutan, perkutut, ayam hutan, bethet yang tampaknya sudah ilang
BalasHapusmenurut wisik yang kuterima setelah kungkum sekitar 6 tahun ...
BalasHapuswong ndeso wonogiri kudu gawe areng ananging ora pareng nggragas.
Copy skripsinya mingsih ada, Mas Kisut. Cuma, copy beberapa saran dan usulan (rekomendasi kok rasane kedhuwuren) kayaknya sudah tidak lagi punya ..... Tapi, nanti bisa direkonstruksi lagi.
BalasHapusah soal DAS bengawan solo.... dah ada penangananya kok, percaya deh! cuma yang kita ambil sikap gimana to di daerah yang airnya masuk ke Waduk GM ketika musim hujan? kesadaran para petani di daerah aliran yang perlu kita sadarkan, sebenarnya itu daerah sabuk hijau yang sudah bagus, karena ulah manusialah yang mengakibatkan pendangkalan waduk.
BalasHapususaha kita pasti tidak membahas waduknya, tapi bagaimana usaha penyelamatan dari hulu misalnya penyuluhan kepada warga yang ada di hulu, penyadaran menjaga kebersihan waduk dll. itu sudah merupakan sumbangan kita.
BalasHapussalam